Sunday, November 17, 2013

I Know, I'm Sorry

I know it's been ages since I made a post on "Buku-Buku Biru". I know I've once said on this blog, too, that I'd try to write more. I know I rarely joined myself to any cool events that BBI has held. And I know I often blamed my laziness to write reviews to the hecticness of my college life that, truthfully, believe it or not, was true. I've been working on my undergraduate thesis since this October and sadly, it seems like there's no significant progress yet. That's why my mood have been becoming more unstable than before. And sometimes when I came to a point where the feeling of sad, tired and frustrated were all mixed up and came up to the surface, reading doesn't help. It just doesn't.

So, I know saying sorry will never be enough and would't change a thing. But, still, sorry. I'm sorry. I'm soooo sorry. It's not that this blog has many readers or my writing is good or what, but as I've said before on this post, I feel responsible. So I'd like to thank the BBI team for letting me take a little break from updating this blog. Thank you soooo much. I may be coming back in two months, but that doesn't mean I won't check this blog out during my hiatus. So please leave me messages or comments or what, I'll reply them as soon as I can.

I'm sorry.

Sunday, June 16, 2013

I Feel You, Ana

Minggu lalu, saya baru nonton film berjudul 'Liberal Arts' (2012), yang di-direct dan ditulis oleh Josh Radnor. Yup, si Ted Mosby dari serial HIMYM itu! Secara garis besar, film ini bercerita tentang seorang pria berumur 30-an bernama Jesse (Josh Radnor) yang jatuh cinta dengan gadis berumur 19 tahun bernama Zibby (Elizabeth Olsen). Sekilas, mungkin 'Liberal Arts' terdengar seperti film-film romantis lain. Tapi, percaya deh, it's not.

Jesse sangat suka membaca. Ia bahkan sering berkunjung ke sebuah toko buku di mana Ana (Elizabeth Reaser) suka diam-diam memperhatikannya. Suatu hari, Jesse datang ketika toko buku tersebut telah tutup, tapi ia malah jadi terlibat obrolan dengan Ana, mendengarkan wanita itu berbicara mengenai kecintaannya terhadap buku.

Scene di mana dialog di bawah ini muncul!


















AnaI love books. I do in, like, the dorkiest way possible. 

JesseOh, me too. It's a problem. 

AnaLike, I love trees cause they give us books. 

JesseSuper cool of the trees to do that, Right? 

AnaI'm actually... this is weird. I'm actually trying to read less. 

JesseWhy? 

AnaI felt like I wasn't watching enough television. No, l just started to feel like reading about life was taking time away from actually living life, so I'm trying to, like, accept invitations to things, say "hi" to the world a little more. 

JesseThat sounds scary. It's going well? 

Ana: It's... okay. I keep thinking I'd be so much happier in bed with a book, and that makes me feel not super cool. I still read tons. I just feel like I'm more aware of a book's limitations. Does that make sense? 

JesseYeah, totally.

....

So, what do you think? Should we try to read less so that we can really live the life?
Yay or nay?

Saturday, June 15, 2013

Review: Jakarta Kafe - Tatyana

Judul: Jakarta kafe
Penulis: Tatyana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 294 halaman
Tahun Terbit: 2013
Rating: 3,5/5
Paperback Synopsis:
Jakarta, dalam cerita-cerita ini, adalah ceruk yang tenang tapi gersang, berisik tapi sunyi, gemerlap tapi muram. jakarta seperti musik jazz: serbaada dan menawarkan segala kemungkinan. Paradoks-paradoks itu bisa hadir sendiri-sendiri, tumpang tindih, atau berombongan sekaligus sehingga sulit menyebut apa warna jakarta sesungguhnya. Sebutlah sesuatu, itulah Jakarta.

Kisah yang berkesan ternyata tak perlu datang dari gagasan besar, imajinasi aneh-aneh. Tapi pengrajin yang baik akan memulas bonggol tak berguna menjadi patung yang dahsyat. Tergantung bagaimana keunikan dibentuk dengan jalinan yang bernas. Jakarta Kafe telah melakukannya.

.....

Saya suka terhadap hal-hal yang simpel nan cantik. Bagi saya, less is more. Hal itulah yang menurut saya ada dalam sampul buku 'Jakarta Kafe' dan menjadi salah satu alasan mengapa saya tertarik untuk membeli dan membacanya, sejak saya tidak tau, belum pernah dengar sama sekali dengan yang namanya Tatyana. So, yes, sometimes I do judge a book by its cover.

'Jakarta Kafe' merupakan sebuah buku dengan 25 cerita pendek di dalamnya. Awalnya, saya mengira kalau semua cerpen dalam buku ini akan ber-setting di sebuah kafe yang sama. Dan entah kenapa saya selalu suka cerita-cerita dengan kafe sebagai latar tempatnya. Jadi, bisa dikatakan, perkiraan saya itulah yang menjadi alasan kedua mengapa saya memutuskan untuk membeli dan membaca buku ini. Namun, ternyata saya salah. Memang ada beberapa cerpen yang latar tempatnya berada di kafe, tapi tidak semua dan tidak di satu kafe yang sama. But, hey, bukan lantas berarti saya merasa kecewa berat dan nggak mau membaca buku ini. Malahan, saya menikmati banget lho bacanya!

Buku ini diawali dengan cerpen berjudul 'Seafood', bercerita tentang seorang wanita berkeluarga yang "diajak" berselingkuh oleh salah seorang rekan kerjanya - dan diakhiri dengan 'Perempuan yang Tidak Suka Bulan Maret', bercerita tentang seorang wanita yang membenci bulan Maret karena sang suami meninggal pada bulan tersebut. Sedangkan, judul buku sendiri diambil dari cerpen dengan judul yang sama; bercerita tentang seorang pria yang terpaksa harus berdesak-desakkan di dalam bus setelah mengantar anaknya bersekolah.

Ketika pertama kali selesai membaca cerpen dalam buku ini, sejujurnya saya sempat mengerutkan kening karena rasanya ceritanya belum selesai. Menggantung. Unsolved. Tapi, setelah membaca cerpen demi cerpen, ternyata ya memang hampir semuanya begitu. Singkatnya, cerpen-cerpen dalam buku ini kayak potongan-potongan kisah kehidupan sehari-hari yang ada di sekitar kita. Mungkin itulah kenapa ketika membacanya, saya rasanya kayak lagi duduk sendirian di sebuah coffee shop, menyeduh kopi, sambil memerhatikan orang-orang di sekitar saya, dan diam-diam sok-sokan "membaca" kehidupan macam apa yang dijalani orang-orang itu.

Umumnya, cerpen-cerpen dalam buku ini bercerita tentang kehidupan orang dewasa; relationship, keluarga, kerja keras, perjuangan, kehidupan sosial, dan sebagainya. Nah, seperti kebanyakan buku kumpulan cerpen lain, tentu ada beberapa cerpen yang menarik perhatian dan beberapa lain yang "lewat" begitu saja. Secara pribadi, saya suka dengan 'Prancis', 'Reuni', 'Java Jive', 'Paycheck', 'Days of Wine and Roses' dan 'Peter Pan'. Bukannya lantas saya nggak suka dengan cerpen-cerpen lain, hanya aja... you know, kurang begitu ngena bagi saya. But, still, saya suka dengan gaya menulis dan bercerita Tatyana yang menurut saya cenderung puitis tapi ringan, renyah, mengalir gitu aja meskipun kadang saya agak gondok juga ketika baca beberapa cerpen yang diakhiri-gitu-aja-padahal-saya-pengen-baca-lanjutannya.

Nah, bagi yang suka mengoleksi dan membaca buku kumpulan cerpen, menurut saya 'Jakarta Kafe' harus ada di rak buku kamu. Sebuah pengalaman baca yang baru dan seru! :)

Friday, June 7, 2013

Review: Eleanor & Park - Rainbow Rowell

Judul: Eleanor & Park
Penulis: Rainbow Rowell
Penerbit: St. Martin's Griffin (E-book)
Tebal: 320 pages
Tahun Terbit: 2013
Rating: 4/5
Goodreads Synopsis:
"Bono met his wife in high school," Park says.
"So did Jerry Lee Lewis," Eleanor answers.
"I’m not kidding," he says.
"You should be," she says, "we’re sixteen."
"What about Romeo and Juliet?"
"Shallow, confused, then dead."
''I love you," Park says.
"Wherefore art thou," Eleanor answers.
"I’m not kidding," he says.
"You should be."

Set over the course of one school year in 1986, ELEANOR AND PARK is the story of two star-crossed misfits – smart enough to know that first love almost never lasts, but brave and desperate enough to try. When Eleanor meets Park, you’ll remember your own first love – and just how hard it pulled you under.
.....

Eleanor merupakan murid baru di sekolahnya. Ia berasal dari keluarga yang, bisa dibilang, broken home. Setelah bercerai dari ayah Eleanor, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang sayangnya tidak lebih baik dari ayah Eleanor. Ia bahkan mengusir Eleanor dari rumah, membuatnya tinggal bersama salah satu relatif keluarga mereka. Kini, setahun setelah kejadian tersebut, Eleanor kembali tinggal bersama ibunya, ayah tirinya dan empat saudaranya. Ketika ia pertama kali harus menaiki bus untuk sampai di sekolah barunya, hampir semua anak tidak mau memberikan tempat duduk baginya. Satu-satunya kursi yang tersisa adalah di sebelah Park, the stupid Asian kid – julukan yang diberikan Eleanor pada cowok itu. Park bukannya dengan senang hati rela membiarkan kursi kosong di sebelahnya terisi, apalagi oleh seorang cewek dengan rambut berwarna merah dan gaya berpakaian yang menurutnya begitu aneh. Bukan. Park hanya terpaksa melakukannya. Meski begitu, sebenarnya Park memperhatikan cewek itu, diam-diam membuat komentar-komentar yang disimpannya dalam hati.

Namun, karena intensitas pertemuan yang tinggi, duduk bersebelahan dengan jarak yang terpaut hanya enam inches di antara mereka, hubungan Park dan Eleanor pun berkembang dengan sendirinya, meski tidak mulus karena sifat tertutup Eleanor terhadap rahasia-rahasianya. Nah, hal tersebut lah yang sering kali bikin saya nggak bisa berhenti membaca novel ini. Cara Rainbow Rowell membangun hubungan dan chemistry di antara Park dan Eleanor terasa smooth banget, jadinya natural dan mengalir aja gitu. Dan penulisan yang dilakukan dengan menggunakan dua sudut pandang merupakan keputusan yang tepat. Saya jadi bisa lebih menyelami dan memahami perasaan mereka masing-masing; apa yang dipikirkan Eleanor terhadap Park, bagaimana perasaan Park terhadap Eleanor, dan sebagainya.

Sedangkan, mengenai karakter, sejujurnya saya merasa sedikit sebal dengan Eleanor. Bukannya saya iri atau gimana (well, a little bit, yes), tapi menurut saya, Eleanor terlalu insecure terhadap dirinya sendiri. Okay, I know she had family problems, kids at school making fun of her because she had red hair and dressed weirdly, but… come on! You could do better than that, Eleanor! Saya nggak membenci karakter Eleanor, kok. Sama sekali nggak. She’s a tough girl, though. Saya cuma pengen ia tau dan sadar bahwa ia jauh lebih baik dari yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri, bahwa ia pantas untuk dicintai, baik oleh Park atau siapa pun.

Sedangkan Park…. he’s such a quiet, sweet and caring boy. Half Korean, dengan bola mata berwarna hijau dan rambut hitamnya. Saya suka bagaimana ia begitu peduli pada Eleanor dan tidak pernah menyerah terhadap cewek itu. Park tidak lagi peduli terhadap apa yang dikatakan keluarganya atau orang-orang di sekolahnya tentang Eleanor. Yang ia pedulikan, perhatikan, hanya Eleanor seorang. And those little things that he did to Eleanor…. Saya sampe jejeritan ketika membaca bagian-bagian yang mungkin terdengar sepele tapi bagi saya…. ampuuuuun, manis banget, seperti bagaimana Park sengaja membuka komiknya lebih lebar dan membalik halamannya lebih lama karena ia tau bahwa Eleanor ikut membacanya. Atau ketika Park meminjamkan walkman-nya dan mengenalkannya pada beberapa musik. God, my feeling!

Sayangnya, saya kurang begitu sreg dengan endingnya. Saya suka, sih, karena begitu realistis, tapi saya ngerasa kayak ada yang luput. Kayak ada satu keping puzzle yang hilang. Saya bahkan sempat membaca berulang-ulang bagian akhir buku ini, but, still, saya belum menemukan apa yang kayaknya hilang. Dan saya sendiri juga nggak tau apa yang hilang itu. Denger-denger, sih, Rainbow Rowell akan menulis sekuel dari “Eleanor & Park”. Semoga itu bukan cuma gosip, ya, karena saya masih ingin tau kelanjutan nasib Eleanor dan Park. I need more of them. I just do.

P.S: It feels really good to finally be able to write a book review again! Sebetulnya "Eleanor & Park" sudah selesai saya baca dari, kurang-lebih, sebulan yang lalu. Tapi karakter-karakternya seolah teriak-teriak dalam otak saya, minta untuk ditulis *halah*. Doakan bisa semakin rajin menulis di blog ini, ya! :)

Saturday, May 18, 2013

An Apology

I know I've been becoming a very, very bad blogger. 

Sudah lebih dari tiga bulan saya nggak bikin tulisan apa-apa di blog ini. Well, bukannya "Buku-Buku Biru" punya banyak pembaca atau gimana, tapi saya cuma ngerasa bertanggung jawab. Sejak saya membuat "Buku-Buku Biru" dan bergabung dengan BBI, saya janji sama diri saya sendiri agar dapat konsisten menulis setidaknya sebulan sekali. Tapi, seperti yang bisa dilihat, saya nggak bisa menepati janji yang saya buat sendiri.

Awalnya, sih, saya menyalahkan tugas-tugas kuliah yang - beneran, deh - nggak ada habisnya. Datangnya bertubi-tubi, sampai saya kewalahan dan bingung harus ngerjain yang mana dulu. Begitu ada waktu kosong, saya cuma leyeh-leyeh sambil menghabiskan timbunan bacaan yang menumpuk di meja belajar saya. Oh, jadi masih tetap membaca toh? Hahaha iya, untuk urusan satu itu, badan saya kayak ada tombol auto-pilot nya. Begitu ada waktu kosong, langsung ambil buku. Reading is my pleasure, my escape, you knoooow? (Of course you guys know. You probably read better than I do!) It keeps me sane.

Maka, saya nggak mau bohong kalau selama tiga bulan belakangan ini, saya kayak berada di masa-masa malas menulis. Mungkin karena kebanyakan nulis buat tugas kuliah, kali, ya? Apapun itu, saya tetap ngerasa bersalah. Saya punya banyak banget hutang menulis review buku yang sudah saya baca. Dan untuk itu....

...I apologize.

Saya ngerasa malu banget. Semoga masih ada yang mau nungguin review buku dari saya, meskipun saya sadar diri kalau tulisan saya nggak bagus-bagus amat. But, hey, we're here to learn, right? Saya nggak bisa memastikan bahwa postingan ini merupakan sebuah tulisan untuk come back, atau apapun lah itu namanya. Yang jelas, saya mau mencoba lagi. Saya masih ingin berbagi pikiran - dan perasaan - saya terhadap buku-buku yang saya baca. Kalau misalkan nanti di tengah jalan saya meleng lagi, tolong ingatkan saya, ya. Paksa aja juga nggak apa-apa.

Sekali lagi, saya mohon maaf, ya. Mohon doanya, mohon jangan di-unfollow dan mohon buku juga. *ngelunjak*

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM!

:')

Monday, February 11, 2013

Words of the Day

"Books are the ultimate Dumpees: put them down and they'll wait for you forever; pay attention to them and they always love you back."
-Colin Singleton (An Abundance of Katherines by John Green) 

Sunday, February 10, 2013

Review: An Abundance of Katherines - John Green

Judul: An Abundance of Katherines
Penulis: John Green
Penerbit: Speak
Tebal: 229 halaman
Tahun Terbit: 2006
Rating: 3,7/5
Paperback Synopsis:
When it comes to relationships, Colin Singleton's type is girls named Katherine. And when it comes to girls named Katherine, Colin is always getting dumped. Nineteen times, to be exact. On a road trip miles from home, this anagram-happy, washed-up child prodigy has ten thousand dollars in his pocket, a bloodthirsty feral hog on his trail, and an overweight, Judge Judy-loving best friend riding shotgun - but no Katherines. Colin is on a mission to prove The Theorem of Underlying Katherine Predictability, which he hopes will predict the future of any relationship, avenge Dumpees everywhere, and finally win him the girl.

.....

Selama hidupnya, the washed-up child prodigy Colin Singleton telah memacari sembilan belas cewek yang, weirdly true, semuanya bernama Katherine. Sayangnya, pada hari kelulusan SMA-nya, Katherine XIX mencampakkannya, membuatnya merasa begitu sakit hati dan depresi. Hassan, sahabat Collin, pun berinisiatif untuk mengajak Colin melakukan road trip. Selama beberapa hari, mereka hanya mengendarai mobil tanpa tujuan pasti. Hingga ketika tiba di Gutshot, Tennessee, Colin dan Hassan memutuskan untuk stay karena hal menarik yang ditawarkan kepada mereka. Bersama cewek bernama Lindsey yang mereka kenal di sana, Hassan dan Colin pun menjalani "petualangan" yang, bisa dibilang, cukup dadakan. Di sisi lain, Colin yang masih merasa sakit hati akan putusnya hubungannya dengan Katherine XIX, sedang berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability, yang ia harap dapat digunakan untuk memprediksi masa depan suatu hubungan.

Sejujurnya saya sempat mengernyitkan kening, keheranan, ketika tau bahwa kesembilanbelas cewek yang pernah dipacari Colin, semuanya bernama Katherine. Tapi, di sisi lain, hal tersebut justru terdengar unik dan malah membuat saya tertarik untuk langsung meng-klik tombol 'buy' di website Periplus! Hahaha! Mungkin terdengar aneh dan nggak mungkin, ya, sembilan belas pacar dengan nama yang persis sama—dan semuanya selalu berakhir dengan kurang bahagia. Poor, poor Colin boy.

Untungnya ada Hassan yang dengan ikhlas membantu mengurangi rasa sakit hati Colin dengan mengajaknya melakukan road trip. Nah, ini nih yang menurut saya menjadi kekuatan dari buku ini, yaitu friendship antara Colin dan Hassan yang cukup kuat dan bikin saya salut. Lagi-lagi John Green berhasil menciptakan—dan mempertahankannya sepanjang cerita—chemistry antara sang tokoh utama dan sahabatnya. Apalagi, kali ini, latar belakang kedua orang tersebut begitu berbeda; Colin separuh jewish, sedangkan Hassan merupakan seorang muslim—bukan teroris. Mereka berdua masing-masing punya rasa toleransi yang cukup tinggi sehingga dapat menghargai satu sama lain. Mereka bahkan mempunyai sebuah kata random yang digunakan apabila ada perlakuan dari mereka berdua yang dirasa keterlaluan. Sweet, riiiiight? Namun, bukannya lantas mereka jadi nggak pernah bertengkar. They did, of course, tapi alasannya bukan karena perbedaan latar belakang tersebut. Di sisi lain, adanya perselisihan-perselisihan itu lah yang sering bikin saya ketawa ketika membacanya. Untuk hal ini, Hassan successfully stole Colin’s spotlight! Berbanding terbalik dengan Colin yang lumayan serius, doyan menyendiri sambil membaca, geeky dan anagram-happy, Hassan merupakan orang yang doyan banget bercanda, bahkan ketika ia lagi marah. Hmm, intinya sih mereka melengkapi satu sama lain.

Sedangkan, mengenai jalan ceritanya, John Green menggunakan alur maju-mundur. Kita diajak flashback ke masa-masa tentang bagaimana awalnya Colin dikenal sebagai child prodigy, bagaimana ia bertemu dengan Katherine pertamanya, mengapa ia sangat menyukai anagram, dan masih banyak hal lainnya. Awalnya saya ngerasa bahwa bagian flashback ini kurang begitu penting dan berpengaruh dengan bagian yang masa sekarang, tapi seiring berjalannya cerita, semakin saya terus baca… well, those flashback stories did matter. Jadi, saran saya, sih, membaca “An Abundance of Katherines” ini nggak usah terlalu dipikirin. Just let the story floooow. Saya aja nggak kerasa bacanya, tiba-tiba udah mau habis. Padahal, awalnya, sejujurnya saya agak meng-underestimate buku ini karena banyak review yang bilang kalau “An Abundance of Katherines” is the least favorite book of John Green.

Oh ya! Bagi yang kurang begitu suka dengan matematika (kayak saya :p), jangan kaget ketika menemukan banyak persamaan atau grafik matematika dalam buku ini. Selama berada di Gutshot, Tennesse, Colin berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability menggunakan berbagai macam formula matematika. Sebetulnya hal yang dilakukan Colin tersebut menarik banget, tapi karena dasarnya saya kurang tertarik dengan begituan, makanya saya kadang sengaja men-skip bagian tersebut. Daaaan, satu lagi. I was a bit pissed off by the tiny annotations on the bottom of the book. Jadi, membaca buku ini juga menurut saya butuh ketekunan dan kesabaran yang cukup tinggi. Hahaha! Well, mungkin itu cuma saya aja, sih, soalnya saya termasuk orang yang kurang sabaran.

In the end, I have to follow the trend and say that by far, “An Abundance of Katherines” is my least favorite book of John Green, but it’s still very very worth to read and I thoroughly enjoyed it. So, if you haven’t read this book, what are you waiting for, sitzpinkler?

Sunday, February 3, 2013

Review: Will Grayson, Will Grayson - John Green & David Levithan

Judul: Will Grayson, Will Grayson
Penulis: John Green & David Levithan
Penerbit: Speak
Tebal: 310 halaman
Tahun Terbit: 2011
Rating: 4/5
Paperback Synopsis:
One cold night, in a most unlikely corner of Chicago, Will Grayson crosses paths with. Will Grayson. Two teens with the same name, running in two very different circles, suddenly find their lives going in new and unexpected directions, and culminating in epic turns-of-heart and the most fabulous musical ever to grace the high school stage.

.....

Buku ini diceritakan dari dua sudut pandang pria remaja SMA yang memiliki nama sama, yakni Will Grayson yang ditulis oleh John Green dan will grayson yang ditulis oleh David Levithan. Pada suatu malam, Will Grayson dan will grayson—yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal—bertemu tanpa sengaja untuk pertama kalinya. Mereka sama-sama terkejut ketika salah satu dari mereka menyebutkan nama. Kisah kedua Will grayson ini ditulis secara bergantian tiap bab, membuat saya pribadi nggak merasa bingung dan dapat menyelami masing-masing karakter secara lebih dalam.

Will Grayson yang pertama merupakan remaja yang cukup normal, cenderung pemalu dan memilih untuk nggak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Ia merasa bahwa hidup akan lebih mudah dijalani dengan tidak ambil pusing dengan orang-orang di sekitarnya. Hal-hal tersebut lah yang membuat saya tahu bahwa Will Grayson with the capital “WG” ini merupakan tulisan John Green, karena sejujurnya Will Grayson sedikit-banyak mengingatkan saya dengan Pudge di “Looking for Alaska” dan Q di “Paper Towns”—which I actually liked, no matter what people said about those characters. :p Yang juga membuat kisah Will Grayson menarik untuk dibaca adalah adanya kehadiran Tiny Cooper, sahabat Will Grayson yang berbadan besar (berbanding terbalik dengan namanya!), unik, ajaib, menyenangkan dan merupakan seorang homoseksual.

Sedangkan will grayson versi David Levithan memiliki kisah yang lebih gloomy. He always looked sad, depressed and complicated. Ia juga merupakan seorang homoseksual yang tidak ingin diketahui oleh orang lain—terutama orang-orang di sekitarnya. Bukan karena ia malu, tapi lebih karena ia merasa bahwa hal tersebut bukanlah urusan orang lain. Seluruh kisah will grayson ditulis menggunakan huruf kecil. Setiap percakapannya bahkan tidak menggunakan tanda baca seperti yang biasa saya lihat dalam berbagai novel, melainkan hanya menggunakan tanda baca “titik dua”. Namun, di balik eksterior keras yang ditunjukkan oleh will grayson, menurut saya ia hanya merasa kesepian. Sebenarnya ia bahkan merupakan seseorang yang baik dan cukup lembut—apalagi ketika menyangkut hal-hal tentang… well, love.

Buku ini merupakan karya kedua David Levithan yang saya baca setelah “The Lover’s Dictionary”. Makanya saya kurang tau bagaimana gaya Levithan menulis karakter-karakter dalam novelnya, mengingat bahwa “The Lover’s Dictionary” berisi tentang kehidupan cinta seorang lelaki yang diceritakan menggunakan format kamus. Nah, sejak awal membaca “Will Grayson, Will Grayson” dan saya tau bahwa kedua karakter dalam buku ini ditulis oleh dua penulis berbeda, saya sudah yakin banget bahwa saya pasti akan lebih menyukai Will Grayson versi John Green. But, in the end, I had to say that I love will grayson, too! I love Will Grayson, I love will grayson, I LOVE THEM BOTH! I felt like I could relate myself to both of them. Ada beberapa hal, baik dari Will Grayson maupun will grayson, yang mengingatkan saya dengan diri saya sendiri. 

Selain karena karakter-karakter yang bagi saya begitu lovable, hal yang membuat saya betah membaca buku ini adalah ceritanya; sederhana tapi meaningful. Saya bisa ngerasain bagaimana Will Grayson dan will grayson, di usia remaja mereka, berusaha untuk menemukan jati diri dengan cara masing-masing... bagaimana jatuh-bangunnya mereka. Itulah kenapa penulisan kisah Will Grayson dan will grayson yang dilakukan secara bergantian tiap bab, menurut saya, cerdas banget.

Namun, saya agak menyayangkan karakter Will Grayson yang pesonanya agak tertutup oleh Tiny Cooper. Well, Tiny Cooper memang muncul juga dalam bagian will grayson, namun tidak sampai membuat karakter will teralihkan. Bukan berarti saya jadi nggak suka dengan karakter Tiny. He’s nice, funny, cheerful and friendly. I even wondered how it felt like to have a best-friend like him. Saya mau satu yang kayak Tiny dalam hidup saya! …Tapi saya tetep menyayangkan hal tersebut. Saya bahkan kadang ngerasa kalau buku ini sebenarnya secara umum menceritakan tentang Tiny Cooper—terutama ketika memasuki bagian akhir buku.

Nah, menyangkut bagian akhir, saya sendiri bingung harus bersikap gimana. Saya ngerasa suka dan kurang sreg pada saat bersamaan, tapi saya nggak punya ide ending yang lebih baik untuk buku ini. Sejujurnya saya tersenyum seneng ketika selesai membacanya, namun di sisi lain saya juga ngerasa bahwa ending-nya terlalu… hmm, dreamy? Terlalu mirip film? Oh, I know! Terlalu… Glee, mungkin? No?

But, well, I still love this book. Saya suka bagaimana Will Grayson dan will grayson berusaha mencari jati diri dan menghadapi kehidupan dengan cara masing-masing—dan bagaimana hal itu mengingatkan saya sama diri saya sendiri. Saya suka bagaimana Tiny Cooper sering kali membuat cerita dalam buku ini menjadi lebih light up. Saya suka bagaimana gaya bercerita John Green dan David Levithan membuat saya ketawa, terharu, senyum-senyum sendiri, bahkan ikutan marah.

So... I appreciate you, John Green and David Levithan, eventhough my name is not Will Grayson!