Monday, February 11, 2013

Words of the Day

"Books are the ultimate Dumpees: put them down and they'll wait for you forever; pay attention to them and they always love you back."
-Colin Singleton (An Abundance of Katherines by John Green) 

Sunday, February 10, 2013

Review: An Abundance of Katherines - John Green

Judul: An Abundance of Katherines
Penulis: John Green
Penerbit: Speak
Tebal: 229 halaman
Tahun Terbit: 2006
Rating: 3,7/5
Paperback Synopsis:
When it comes to relationships, Colin Singleton's type is girls named Katherine. And when it comes to girls named Katherine, Colin is always getting dumped. Nineteen times, to be exact. On a road trip miles from home, this anagram-happy, washed-up child prodigy has ten thousand dollars in his pocket, a bloodthirsty feral hog on his trail, and an overweight, Judge Judy-loving best friend riding shotgun - but no Katherines. Colin is on a mission to prove The Theorem of Underlying Katherine Predictability, which he hopes will predict the future of any relationship, avenge Dumpees everywhere, and finally win him the girl.

.....

Selama hidupnya, the washed-up child prodigy Colin Singleton telah memacari sembilan belas cewek yang, weirdly true, semuanya bernama Katherine. Sayangnya, pada hari kelulusan SMA-nya, Katherine XIX mencampakkannya, membuatnya merasa begitu sakit hati dan depresi. Hassan, sahabat Collin, pun berinisiatif untuk mengajak Colin melakukan road trip. Selama beberapa hari, mereka hanya mengendarai mobil tanpa tujuan pasti. Hingga ketika tiba di Gutshot, Tennessee, Colin dan Hassan memutuskan untuk stay karena hal menarik yang ditawarkan kepada mereka. Bersama cewek bernama Lindsey yang mereka kenal di sana, Hassan dan Colin pun menjalani "petualangan" yang, bisa dibilang, cukup dadakan. Di sisi lain, Colin yang masih merasa sakit hati akan putusnya hubungannya dengan Katherine XIX, sedang berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability, yang ia harap dapat digunakan untuk memprediksi masa depan suatu hubungan.

Sejujurnya saya sempat mengernyitkan kening, keheranan, ketika tau bahwa kesembilanbelas cewek yang pernah dipacari Colin, semuanya bernama Katherine. Tapi, di sisi lain, hal tersebut justru terdengar unik dan malah membuat saya tertarik untuk langsung meng-klik tombol 'buy' di website Periplus! Hahaha! Mungkin terdengar aneh dan nggak mungkin, ya, sembilan belas pacar dengan nama yang persis sama—dan semuanya selalu berakhir dengan kurang bahagia. Poor, poor Colin boy.

Untungnya ada Hassan yang dengan ikhlas membantu mengurangi rasa sakit hati Colin dengan mengajaknya melakukan road trip. Nah, ini nih yang menurut saya menjadi kekuatan dari buku ini, yaitu friendship antara Colin dan Hassan yang cukup kuat dan bikin saya salut. Lagi-lagi John Green berhasil menciptakan—dan mempertahankannya sepanjang cerita—chemistry antara sang tokoh utama dan sahabatnya. Apalagi, kali ini, latar belakang kedua orang tersebut begitu berbeda; Colin separuh jewish, sedangkan Hassan merupakan seorang muslim—bukan teroris. Mereka berdua masing-masing punya rasa toleransi yang cukup tinggi sehingga dapat menghargai satu sama lain. Mereka bahkan mempunyai sebuah kata random yang digunakan apabila ada perlakuan dari mereka berdua yang dirasa keterlaluan. Sweet, riiiiight? Namun, bukannya lantas mereka jadi nggak pernah bertengkar. They did, of course, tapi alasannya bukan karena perbedaan latar belakang tersebut. Di sisi lain, adanya perselisihan-perselisihan itu lah yang sering bikin saya ketawa ketika membacanya. Untuk hal ini, Hassan successfully stole Colin’s spotlight! Berbanding terbalik dengan Colin yang lumayan serius, doyan menyendiri sambil membaca, geeky dan anagram-happy, Hassan merupakan orang yang doyan banget bercanda, bahkan ketika ia lagi marah. Hmm, intinya sih mereka melengkapi satu sama lain.

Sedangkan, mengenai jalan ceritanya, John Green menggunakan alur maju-mundur. Kita diajak flashback ke masa-masa tentang bagaimana awalnya Colin dikenal sebagai child prodigy, bagaimana ia bertemu dengan Katherine pertamanya, mengapa ia sangat menyukai anagram, dan masih banyak hal lainnya. Awalnya saya ngerasa bahwa bagian flashback ini kurang begitu penting dan berpengaruh dengan bagian yang masa sekarang, tapi seiring berjalannya cerita, semakin saya terus baca… well, those flashback stories did matter. Jadi, saran saya, sih, membaca “An Abundance of Katherines” ini nggak usah terlalu dipikirin. Just let the story floooow. Saya aja nggak kerasa bacanya, tiba-tiba udah mau habis. Padahal, awalnya, sejujurnya saya agak meng-underestimate buku ini karena banyak review yang bilang kalau “An Abundance of Katherines” is the least favorite book of John Green.

Oh ya! Bagi yang kurang begitu suka dengan matematika (kayak saya :p), jangan kaget ketika menemukan banyak persamaan atau grafik matematika dalam buku ini. Selama berada di Gutshot, Tennesse, Colin berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability menggunakan berbagai macam formula matematika. Sebetulnya hal yang dilakukan Colin tersebut menarik banget, tapi karena dasarnya saya kurang tertarik dengan begituan, makanya saya kadang sengaja men-skip bagian tersebut. Daaaan, satu lagi. I was a bit pissed off by the tiny annotations on the bottom of the book. Jadi, membaca buku ini juga menurut saya butuh ketekunan dan kesabaran yang cukup tinggi. Hahaha! Well, mungkin itu cuma saya aja, sih, soalnya saya termasuk orang yang kurang sabaran.

In the end, I have to follow the trend and say that by far, “An Abundance of Katherines” is my least favorite book of John Green, but it’s still very very worth to read and I thoroughly enjoyed it. So, if you haven’t read this book, what are you waiting for, sitzpinkler?

Sunday, February 3, 2013

Review: Will Grayson, Will Grayson - John Green & David Levithan

Judul: Will Grayson, Will Grayson
Penulis: John Green & David Levithan
Penerbit: Speak
Tebal: 310 halaman
Tahun Terbit: 2011
Rating: 4/5
Paperback Synopsis:
One cold night, in a most unlikely corner of Chicago, Will Grayson crosses paths with. Will Grayson. Two teens with the same name, running in two very different circles, suddenly find their lives going in new and unexpected directions, and culminating in epic turns-of-heart and the most fabulous musical ever to grace the high school stage.

.....

Buku ini diceritakan dari dua sudut pandang pria remaja SMA yang memiliki nama sama, yakni Will Grayson yang ditulis oleh John Green dan will grayson yang ditulis oleh David Levithan. Pada suatu malam, Will Grayson dan will grayson—yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal—bertemu tanpa sengaja untuk pertama kalinya. Mereka sama-sama terkejut ketika salah satu dari mereka menyebutkan nama. Kisah kedua Will grayson ini ditulis secara bergantian tiap bab, membuat saya pribadi nggak merasa bingung dan dapat menyelami masing-masing karakter secara lebih dalam.

Will Grayson yang pertama merupakan remaja yang cukup normal, cenderung pemalu dan memilih untuk nggak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Ia merasa bahwa hidup akan lebih mudah dijalani dengan tidak ambil pusing dengan orang-orang di sekitarnya. Hal-hal tersebut lah yang membuat saya tahu bahwa Will Grayson with the capital “WG” ini merupakan tulisan John Green, karena sejujurnya Will Grayson sedikit-banyak mengingatkan saya dengan Pudge di “Looking for Alaska” dan Q di “Paper Towns”—which I actually liked, no matter what people said about those characters. :p Yang juga membuat kisah Will Grayson menarik untuk dibaca adalah adanya kehadiran Tiny Cooper, sahabat Will Grayson yang berbadan besar (berbanding terbalik dengan namanya!), unik, ajaib, menyenangkan dan merupakan seorang homoseksual.

Sedangkan will grayson versi David Levithan memiliki kisah yang lebih gloomy. He always looked sad, depressed and complicated. Ia juga merupakan seorang homoseksual yang tidak ingin diketahui oleh orang lain—terutama orang-orang di sekitarnya. Bukan karena ia malu, tapi lebih karena ia merasa bahwa hal tersebut bukanlah urusan orang lain. Seluruh kisah will grayson ditulis menggunakan huruf kecil. Setiap percakapannya bahkan tidak menggunakan tanda baca seperti yang biasa saya lihat dalam berbagai novel, melainkan hanya menggunakan tanda baca “titik dua”. Namun, di balik eksterior keras yang ditunjukkan oleh will grayson, menurut saya ia hanya merasa kesepian. Sebenarnya ia bahkan merupakan seseorang yang baik dan cukup lembut—apalagi ketika menyangkut hal-hal tentang… well, love.

Buku ini merupakan karya kedua David Levithan yang saya baca setelah “The Lover’s Dictionary”. Makanya saya kurang tau bagaimana gaya Levithan menulis karakter-karakter dalam novelnya, mengingat bahwa “The Lover’s Dictionary” berisi tentang kehidupan cinta seorang lelaki yang diceritakan menggunakan format kamus. Nah, sejak awal membaca “Will Grayson, Will Grayson” dan saya tau bahwa kedua karakter dalam buku ini ditulis oleh dua penulis berbeda, saya sudah yakin banget bahwa saya pasti akan lebih menyukai Will Grayson versi John Green. But, in the end, I had to say that I love will grayson, too! I love Will Grayson, I love will grayson, I LOVE THEM BOTH! I felt like I could relate myself to both of them. Ada beberapa hal, baik dari Will Grayson maupun will grayson, yang mengingatkan saya dengan diri saya sendiri. 

Selain karena karakter-karakter yang bagi saya begitu lovable, hal yang membuat saya betah membaca buku ini adalah ceritanya; sederhana tapi meaningful. Saya bisa ngerasain bagaimana Will Grayson dan will grayson, di usia remaja mereka, berusaha untuk menemukan jati diri dengan cara masing-masing... bagaimana jatuh-bangunnya mereka. Itulah kenapa penulisan kisah Will Grayson dan will grayson yang dilakukan secara bergantian tiap bab, menurut saya, cerdas banget.

Namun, saya agak menyayangkan karakter Will Grayson yang pesonanya agak tertutup oleh Tiny Cooper. Well, Tiny Cooper memang muncul juga dalam bagian will grayson, namun tidak sampai membuat karakter will teralihkan. Bukan berarti saya jadi nggak suka dengan karakter Tiny. He’s nice, funny, cheerful and friendly. I even wondered how it felt like to have a best-friend like him. Saya mau satu yang kayak Tiny dalam hidup saya! …Tapi saya tetep menyayangkan hal tersebut. Saya bahkan kadang ngerasa kalau buku ini sebenarnya secara umum menceritakan tentang Tiny Cooper—terutama ketika memasuki bagian akhir buku.

Nah, menyangkut bagian akhir, saya sendiri bingung harus bersikap gimana. Saya ngerasa suka dan kurang sreg pada saat bersamaan, tapi saya nggak punya ide ending yang lebih baik untuk buku ini. Sejujurnya saya tersenyum seneng ketika selesai membacanya, namun di sisi lain saya juga ngerasa bahwa ending-nya terlalu… hmm, dreamy? Terlalu mirip film? Oh, I know! Terlalu… Glee, mungkin? No?

But, well, I still love this book. Saya suka bagaimana Will Grayson dan will grayson berusaha mencari jati diri dan menghadapi kehidupan dengan cara masing-masing—dan bagaimana hal itu mengingatkan saya sama diri saya sendiri. Saya suka bagaimana Tiny Cooper sering kali membuat cerita dalam buku ini menjadi lebih light up. Saya suka bagaimana gaya bercerita John Green dan David Levithan membuat saya ketawa, terharu, senyum-senyum sendiri, bahkan ikutan marah.

So... I appreciate you, John Green and David Levithan, eventhough my name is not Will Grayson!